DREAM COME TRUE

Blog Yang Bisa Membuat Mimpi Jadi Kenyataan

Jumat, 25 November 2011

mengenal sosol soegeng imam santoso

Meneladani Hoegeng
Judul buku: Hoegeng: Oase Menyejukkan di Tengah Perilaku
Koruptif Para Pemimpin Bangsa
Penulis: Aris Santoso, Ery Sutrisno, Hasudungan Sirait, Imran
Hasibuan
Penerbit: PT Bentang Pustaka, 2009
Tebal: xvii + 334 halaman
Di Indonesia, hanya ada tiga polisi yang tak mempan disogok:
polisi tidur, patung polisi, dan Hoegeng!
Itu hanya joke di kalangan aktivis antikorupsi. Namun, harus
diakui, dalam situasi sekarang sangat sulit mencari polisi yang
tak mempan disogok, hidup hanya dari gaji, dan setelah
pensiun tidak berbisnis.
Bahkan jenderal polisi yang dianggap bersih sekali pun
hidupnya cukup mewah. Bandingkan dengan Hoegeng Iman
Santosa.
Saat menjadi Kapolri, Hoegeng tetap hidup sederhana.
Rumahnya tak dijaga oleh pengawal, dan tak ada perabotan
mewah di dalamnya.
Setelah dicopot oleh Presiden Soeharto, dia menolak di-
dubes-kan. Hidup hanya dari pensiun, tanpa punya rumah
dan mobil pribadi.
Tak sampai hati melihat hidupnya yang teramat sederhana,
akhirnya para sejawatnya di Polri urunan untuk
membelikannya mobil. Sedangkan rumah yang selama ini
ditempatinya, dibeli dari pemiliknya oleh Mabes Polri, untuk
kemudian dihibahkan ke Hoegeng.
Diterbitkan dalam rangka pemberian Hoegeng Award, buku ini
memuat perjalanan hidup Hoegeng, serta pandangan
pimpinan Polri, sahabat, anak, dan tokoh masyarakat atas
teladan dan kepemimpinan pria asal Pekalongan itu.
Sebelumnya, pada 1994 telah terbit biografi Hoegeng yang
ditulis Ramadhan K.H. dan Abrar Yusra. Namun biografi ini
hanya menulis kehidupan Hoegeng hingga berhenti dari
Kapolri pada 1971. Sementara aktivitasnya setelah pensiun,
seperti bergabung dengan grup musik Hawaian Seniors di
TVRI, dan aktif di Petisi 50, tidak dibahas.
Sosok langka seperti Hoegeng sangat pantas untuk diteladani.
Namun jangan sampai terjebak untuk mengultuskannya.
Di mata Satjipto Rahardjo, Hoegeng adalah manusia biasa
dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Kehadirannya di
tengah masyarakat, menurut Satjipto, menjadi sangat
penting karena sikap dan perilakunya sebagai “manusia polisi”
atau “polisi yang manusia” pantas diteladani oleh para polisi
Indonesia masa depan, yaitu polisi yang autentik, profesional
dan sipil. (hal 283)
Sebagai pejabat tinggi yang pernah menduduki berbagai
jabatan penting di lingkungan Polri, imigrasi, bea cukai, dan
pajak, Hoegeng tidak hanya bersih untuk dirinya sendiri,
tetapi juga berusaha melakukan perubahan di lingkungan
tempat kerjanya agar menjadi lingkungan yang benar-benar
bersih.
Dalam penilaian Teten Masduki, tidak sedikit orang bersih
dalam tubuh pemerintahan sekarang. Tetapi mereka tidak
menebarkan inspirasi dan motivasi bagi perubahan kolektif
untuk melakukan perubahan, seperti yang telah dilakukan
Hoegeng. (hal 331)
Dalam situasi sekarang, bukan hanya aparat pemerintah
yang rentan korupsi yang harus meneladani Hoegeng. Tapi
para pejuang antikorupsi, dan siapa saja yang terlibat dalam
pemberantasan korupsi, juga harus membaca kembali
sejarah hidup mantan Kapolri itu. Kenapa?
Sebab Hoegeng bukan saja figur antikorupsi, namun dia juga
figur yang bersih dari berbagai skandal yang disebabkan
perburuan harta, takhta, dan wanita.
Bandingkan dengan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) yang kini jadi sorotan publik karena kesandung kasus
yang, konon, disebabkan skandal asmara.
Ini harus jadi keprihatinan kita bersama karena tidak
sepantasnya figur yang dipercaya rakyat untuk memberantas
korupsi terlibat skandal memalukan seperti itu.
Meneladani Hoegeng
Judul buku: Hoegeng: Oase Menyejukkan di Tengah Perilaku
Koruptif Para Pemimpin Bangsa
Penulis: Aris Santoso, Ery Sutrisno, Hasudungan Sirait, Imran
Hasibuan
Penerbit: PT Bentang Pustaka, 2009
Tebal: xvii + 334 halaman
Di Indonesia, hanya ada tiga polisi yang tak mempan disogok:
polisi tidur, patung polisi, dan Hoegeng!
Itu hanya joke di kalangan aktivis antikorupsi. Namun, harus
diakui, dalam situasi sekarang sangat sulit mencari polisi yang
tak mempan disogok, hidup hanya dari gaji, dan setelah
pensiun tidak berbisnis.
Bahkan jenderal polisi yang dianggap bersih sekali pun
hidupnya cukup mewah. Bandingkan dengan Hoegeng Iman
Santosa.
Saat menjadi Kapolri, Hoegeng tetap hidup sederhana.
Rumahnya tak dijaga oleh pengawal, dan tak ada perabotan
mewah di dalamnya.
Setelah dicopot oleh Presiden Soeharto, dia menolak di-
dubes-kan. Hidup hanya dari pensiun, tanpa punya rumah
dan mobil pribadi.
Tak sampai hati melihat hidupnya yang teramat sederhana,
akhirnya para sejawatnya di Polri urunan untuk
membelikannya mobil. Sedangkan rumah yang selama ini
ditempatinya, dibeli dari pemiliknya oleh Mabes Polri, untuk
kemudian dihibahkan ke Hoegeng.
Diterbitkan dalam rangka pemberian Hoegeng Award, buku ini
memuat perjalanan hidup Hoegeng, serta pandangan
pimpinan Polri, sahabat, anak, dan tokoh masyarakat atas
teladan dan kepemimpinan pria asal Pekalongan itu.
Sebelumnya, pada 1994 telah terbit biografi Hoegeng yang
ditulis Ramadhan K.H. dan Abrar Yusra. Namun biografi ini
hanya menulis kehidupan Hoegeng hingga berhenti dari
Kapolri pada 1971. Sementara aktivitasnya setelah pensiun,
seperti bergabung dengan grup musik Hawaian Seniors di
TVRI, dan aktif di Petisi 50, tidak dibahas.
Sosok langka seperti Hoegeng sangat pantas untuk diteladani.
Namun jangan sampai terjebak untuk mengultuskannya.
Di mata Satjipto Rahardjo, Hoegeng adalah manusia biasa
dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Kehadirannya di
tengah masyarakat, menurut Satjipto, menjadi sangat
penting karena sikap dan perilakunya sebagai “manusia polisi”
atau “polisi yang manusia” pantas diteladani oleh para polisi
Indonesia masa depan, yaitu polisi yang autentik, profesional
dan sipil. (hal 283)
Sebagai pejabat tinggi yang pernah menduduki berbagai
jabatan penting di lingkungan Polri, imigrasi, bea cukai, dan
pajak, Hoegeng tidak hanya bersih untuk dirinya sendiri,
tetapi juga berusaha melakukan perubahan di lingkungan
tempat kerjanya agar menjadi lingkungan yang benar-benar
bersih.
Dalam penilaian Teten Masduki, tidak sedikit orang bersih
dalam tubuh pemerintahan sekarang. Tetapi mereka tidak
menebarkan inspirasi dan motivasi bagi perubahan kolektif
untuk melakukan perubahan, seperti yang telah dilakukan
Hoegeng. (hal 331)
Dalam situasi sekarang, bukan hanya aparat pemerintah
yang rentan korupsi yang harus meneladani Hoegeng. Tapi
para pejuang antikorupsi, dan siapa saja yang terlibat dalam
pemberantasan korupsi, juga harus membaca kembali
sejarah hidup mantan Kapolri itu. Kenapa?
Sebab Hoegeng bukan saja figur antikorupsi, namun dia juga
figur yang bersih dari berbagai skandal yang disebabkan
perburuan harta, takhta, dan wanita.
Bandingkan dengan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) yang kini jadi sorotan publik karena kesandung kasus
yang, konon, disebabkan skandal asmara.
Ini harus jadi keprihatinan kita bersama karena tidak
sepantasnya figur yang dipercaya rakyat untuk memberantas
korupsi terlibat skandal memalukan seperti itu.

biografi jendral hugeng imam santoso

Hoegeng lahir 14
Oktober 1921 di Pekalongan. Ayahnya jaksa. Setelah sekolah di
HIS dan MULO Pekalongan dia belajar di AMS A Yogya, bagian
Klasik Barat. Ketika itulah saya kenal pertama kali dengan
Hoegeng sebagai kakak kelas kami bertiga, yaitu Usmar Ismail
(Bapak Perfilman Nasional), S Tasrif (Ketua Persatuan Advokat
Indonesia), dan saya. Bila kelas kami bertanding bisbol dengan
wasit guru olahraga Schiffers, saya bermain sebagai pitcher tim
kelas dan Hoegeng sebagai pemain stop. Soedarpo
Sastrosatomo (pengusaha perkapalan Samoedera Indonesia),
yang ketika itu pelajar AMS B Yogya,
bercerita tentang sebuah rumah kos di Ngupasan. Di sana
tinggal beberapa anak liar (wilde jongens), seperti Imam
Pamoedjo dan Hoegeng. Mereka membentuk sebuah band
Hawaian. Dengan musik Hawaian, Hoegeng bermain di Sositet,
di Radio Mataram, di NIROM, untuk mendapat tambahan
karena ayahnya hanya mengirimkan 7,50 gulden per bulan.
SETAMAT AMS A, Hoegeng menjadi mahasiswa Sekolah
Hukum Tinggi (Rachts Hoge School/RHS) Batavia. Dalam
perkumpulan mahasiswa USI (Unitas Studiorum
Indonesiensis), dia berkenalan baik dengan sesama mahasiswa,
Soebadio Sastrosatomo, Hamid Algadri, Chaerul Saleh,
Soedjatmoko, Soedarpo Sastrosatomo, dan Subandrio. Karena
perang pecah, studi Hoegeng terkapar. Di zaman pendudukan
Jepang, dia masuk Sekolah Polisi Sukabumi dan setelah
Republik Indonesia berdiri dia terus berkutat di dunia kepolisian.
Bulan Februari 1947, sebagai Pemimpin Redaksi Siasat
saya diajak RS Soekanto, Kepala Kepolisian Negara,
mengunjungi Sekolah Polisi Negara Bagian Tinggi (kelak
berganti nama jadi Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian) di
Mertoyudan dekat Magelang, dan di sana bertemu dengan
staf pengajarnya, antara lain Prof Dr Mr Soepomo, Prof Mr
Soenario Kolopaking, Prof Mr Djoko Soetono, Prof Dr Priyono,
juga dengan mahasiswanya, antara lain Hoegeng-kenalan lama
dari AMS A Yogya.
Karier Hoegeng berkembang. Dikirim belajar ke Amerika
Serikat, ditugaskan di Jawa Timur, tahun 1956 diangkat sebagai
Kepala Reserse dan Kriminal Sumatera Utara di Medan yang
“kesohor” sebagai tempat pedagang Tionghoa punya hobi
menyuap pejabat-pejabat. Namun, Hoegeng tidak bisa disuap.
Di tengah dunia judi, smokkel, korupsi, dan rayuan wanita
cantik, dia kokoh sebagai polisi yang jujur dan lurus, an honest
and straight cop.
PADA awal 1960 Hoegeng diangkat sebagai Kepala Direktorat
Reskrim Mabes Polisi, tetapi dibatalkan, lalu ditarik ke Mabak.
Mengapa sampai begitu? Dalam buku Polisi: Idaman dan
Kenyataan oleh Abrar Yusra dan Ramadhan KH (1993),
Hoegeng bercerita pembatalan itu
karena ada yang melaporkan kepada Bung Karno (BK) bahwa
Hoegeng anggota Partai Sosialis Indonesia (PSI).
Dia menemui BK di Istana untuk menjernihkan persoalan.
BK bilang, “Tapi kamu kan kenal Soedjatmoko, Soebadio
Sastrosatomo, PSI toh?” “Lha, iya kenal, wong kita satu
sekolah kok, AMS A Yogya dan RHS. Tapi saya tak masuk
PSI kok, boleh periksa.” BK menatap saya, lalu ketawa.
“Beres, beres kalau begitu,” kata BK (halaman 248).
Hoegeng diangkat sebagai Kepala Jawatan Imigrasi dan
dalam Kabinet Seratus Menteri sebagai Menteri Negara
Urusan Iuran.
Tahun 1968 Presiden Soeharto mengangkat Hoegeng sebagai
Kepala Polri menggantikan Soetjipto Yudodihardjo. Masa itu
kasus penyelundupan merajalela. Yang terkenal ialah kasus
penyelundupan mobil mewah yang didalangi Robby Tjahyadi
atau Sie Tjie It. Tahun 1969 penyelundupan tersebut dideteksi
polisi. September 1971 Hoegeng mengumumkan kepada
masyarakat tentang usahanya yang berhasil membekuk
penyelundupan
mobil mewah lewat Pelabuhan Tanjung Priok. Mobil-mobil itu
dimasukkan dengan perlindungan tentara, dan dilaporkan Ibu
Tien terlibat pula.
Hoegeng bukannya diberi pujian, melainkan beberapa hari
kemudian dia dipecat sebagai Kepala Polri. Sebelum itu
Hoegeng mendapat tawaran untuk menjabat sebagai Duta
Besar di Belgia melalui Menhankam Jenderal M Panggabean.
Dalam buku yang ditulis Ramadhan KH diceritakan Hoegeng
masih dipanggil Soeharto. “Lho bagaimana, Mas, mengenai
soal Dubes itu?” tanya Soeharto. “Saya tak bersedia jadi dubes,
Pak,” jawab saya. “Tapi, tugas apa pun di Indonesia, akan saya
terima.” Presiden bilang, “Di Indonesia tak ada lagi lowongan,
Mas Hoegeng.” Maka saya pun langsung nyeletuk, “Kalau
begitu, saya keluar saja.” Mendengar itu ia diam. Saya juga
diam. Mau ngomong apa lagi? Setelah kurang lebih setengah
jam pertemuan, saya pun pamit, kata Hoegeng.
Ketika Rapat Pimpinan ABRI di Pekanbaru, 27 Maret 1980,
Presiden Soeharto yang berbicara tanpa teks yang telah
disiapkan mengatakan, ABRI harus memilih sebagai
mitranya mereka yang membela Pancasila dan UUD 1945.
Tiga minggu kemudian pada HUT Kopassandha, beberapa
orang sipil seperti Mohammad Natsir, Burhanuddin
Harahap, dan Syafruddin Prawiranegara berkumpul untuk
menyusun sebuah petisi yang disampaikan kepada DPR, 13
Mei 1980. Lahirlah Petisi 50 yang mengkritik Soeharto
karena menafsirkan Pancasila begitu sempit dan
mempromosikan kerja sama ABRI dengan Golkar, sedangkan
seharusnya ABRI ada di atas semua partai.
Petisi 50 menimbulkan amarah Soeharto. Orang yang dicap
sebagai Petisi 50 menjadi non-person, dipencilkan dari
arus pergaulan sosial.
MAS Hoegeng, yang tadinya ikut dalam band Hawaian Seniors
yang biasa bermain di TVRI dan Radio Elshinta dan digemari
publik, gara-gara menandatangani Petisi 50 harus
menghentikan siaran. Ucapannya pada akhir siaran Aloha tidak
terdengar lagi. Lagu-lagu yang didendangkan, seperti Hawaii
Calls, On The Beach of Waikiki, I’m in The Mood for Love,
menjadi sunyi senyap.
Ketika dia tinggal di Jalan Mohammad Yamin 8 dan saya lewat
di depannya pagi-pagi sedang olahraga jalan kaki, Hoegeng
duduk di sana, lalu kami bercakap-cakap, kadang-kadang
mengutip beberapa strofe dari buku Ovidius berbahasa Latin
karena kami di AMS A Yogya pernah menjadi latinist.
Setelah dia pindah rumah ke kawasan Depok, kontak kian
berkurang. Masih bertemu juga jika ada pertemuan berkala
anggota-anggota Arga Bagya, yaitu alumni AMS Yogya yang
masih hidup. Namun, setelah kena stroke Hoegeng makin
merosot kesehatannya. Dulu masih sering berjumpa waktu
shalat Tarawih di bulan Ramadhan di Masjid Sunda Kelapa,
kemudian itu pun terputus.
Akhirnya datanglah saat berpisah dengan Mas Hoegeng buat
selama-lamanya. Dia tutup usia dan dikebumikan di Parung
Raya, Bogor. Banyak handai tolan datang takziah di rumah
duka. Berpisah secara fisik, tetapi tidak dalam batin. Hoegeng
Iman Santoso akan dikenang terus sebagai putra Indonesia
yang turut berjuang untuk Indonesia Merdeka, manusia yang
jujur, adil, setia pada prinsip etik yang dianutnya. Semoga
Tuhan menerima arwah Mas Hoegeng di sisi-Nya.